Apa tujuan manusia diciptakan? Apa
yang membuat manusia berarti? Bagaimana agar manusia dapat menjalani hidupnya
dengan baik?
Inilah kira-kira pertanyaan yang
juga menarik perhatian eksistensialisme,
sebuah cabang filsafat yang banyak berkembang pada abad 19 dan 20.
Istilah
eksistensialisme baru ‘dipatenkan’ sekitar tahun 1940 oleh Gabriel Marcel,
meski kemunculan aliran ini bisa dilacak jauh melebihi masa itu. Pada tahun
1835, tulisan Soren Kierkegaard, filsuf asal Denmark ditengarai sudah
mengandung benih-benih eksistensialisme.
Filsuf berikutnya yang juga mengusung ide ini termasuk Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Albert Camus dan Simone de Beauvoir.
Filsuf berikutnya yang juga mengusung ide ini termasuk Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Albert Camus dan Simone de Beauvoir.
Dalam perjalanannya,
eksistensialisme berkembang dengan banyak variasi. Namun menurut Sartre di
bukunya Existensialism is a Humanism, doktrin
utama aliran ini bisa diringkas sebagai berikut: “existence precede essence”
atau “eksistensi mendahului
esensi”.
Pernyataan ini
mengartikan bahwa setelah seorang manusia mewujud di dunia, dia mesti menemukan
dirinya sendiri. Atau dengan kata lain dia mesti mendefinisikan dirinya kelak
ingin dikenal sebagai siapa.
Menurut doktrin ini,
pada awalnya manusia itu bukan apa-apa (nothing). Dia akan menjadi
sesuatu/seseorang setelah dia mendefinisikan dirinya sendiri. Pendefinisian
diri ini dapat dicapai melalui tindakan-tindakan yang dia ambil.
Jika suatu tindakan
akhirnya diambil, berarti dia telah melalui proses memilih berbagai alternatif
tindakan yang dia punyai.
Dalam kerangka
eksistensialisme, motor yang menjadi penggerak manusia adalah kehendak (will).
Kehendak didefinisikan sebagai keputusan sadar seorang manusia ketika memilih
sesuatu. Bisa saja saya memilih untuk melanjutkan sekolah atau tetap bekerja.
Pilihan-pilihan ini
merupakan manifestasi dari kehendak saya. Dalam konteks yang lebih menyeluruh,
pilihan-pilihan yang kemudian saya ambil itu akhirnya akan mendefinisikan siapa
saya.
Menurut teropong
eksistensialisme, setiap manusia mesti sadar akan siapa dirinya dan bertanggung
jawab atas dirinya. Yang akan menentukan eksistensi dirinya sebagai manusia tak
lain adalah dirinya sendiri. Ini yang kemudian diistilahkan sebagai
subjektivisme.
Namun, subjektivisme
ini tidak lantas berarti seseorang hanya hirau atas dirinya sendiri.
Subjektivisme disini lebih diartikan bahwa manusia bertanggung jawab atas
dirinya sendiri untuk menjadi apa saja. Akan tetapi, pilihan untuk menjadi apa
saja ini mesti tetap berada dalam kerangka akan adanya hubungan dengan manusia
lain, bahwa apa yang dipilihnya itu akan mempunyai pengaruh atas orang lain.
Itu sebab, dalam
konteks pilihan yang melibatkan semesta manusia ini, dia tidak bisa memilih
untuk menjadi jahat atau memilih sesuatu yang akan merugikan orang lain.
Sebelum mengambil
keputusan atau memilih suatu pilihan, seorang eksistensialis mesti
menempatkan diri seolah-olah semua manusia sedang melihat kepadanya dan menilai
apa yang dia putuskan. Sebelum menentukan pilihan, orang itu mesti
bertanya,”Apa akibat pilihan saya ini bagi manusia lain di sekitar saya?”
Begitulah, secara amat
ringkas, gambar besar eksistensialisme. Masih ada beberap prinsip dasar lain
seperti anguish, abandonment, dan despair, namun bukan maksud corat-coret
singkat ini untuk memperincinya.
Dalam bingkai
eksistensialisme, menjadi tepat apa yang dipetuahkan Albus Dumbledore bahwa
kualitas manusia sesungguhnya terletak pada pilihan-pilihan yang diambilnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar