Keluarga

Keluarga

Minggu, 05 Februari 2012

Alat Musik Angklung

Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu khusus, yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian lokal atau tradisional. Namun karena bunyi-bunyian yang ditimbulkannya sangat merdu dan juga memiliki kandungan lokal dan internasional seperti bunyi yang bertangga nada duremi fa so la si du dan daminatilada, maka angklung pun cepat berkembang, tidak saja dipertunjukan lokal tapi juga dipertunjukan regional, nasional dan internasional. Bahkan konon khabarnya pertunjukan angklung pernah digelar dihadapan Para pemimpin Negara pada Konferensi Asia Afika di Gedung Merdeka Bandung tahun 1955.

Jumlah pemain angklung bisa dimainkan oleh sampai 50 orang, bahkan sampai 100 orang dan dapat dipadukan dengan alat musik lainnya seperti; piano, organ, gitar, drum, dan lain-lain. Selain sebagai alat kesenian, angklung juga bisa digunakan sebagai suvenir atau buah tangan setelah dihiasi berbagai asesoris lainnya.

Sepeninggal Daeng Sutigna kreasi kesenian angklung diteruskan oleh Mang Ujo dan Erwin Anwar. Bahkan Mang Ujo telah membuat pusat pembuatan dan pengembangan kreasi kesenian angklung yang disebut ‘Saung angklung Mang Ujo” yang berlokasi di Padasuka Cicaheum Bandung. Salah satu program yang ia lakukan khususnya untuk mempertahankan kesenian angklung adalah memperkenalkan angklung kepada para siswa sekolah, mulai TK, sampai dengan tingkat SLTA dan bahkan telah menjadi salah satu kurikulum pada pada mata pelajaran lokal.




Di dalam penggunaan angklung sebagai pelengkap kolintang, melody saja sudah cukup sebab pengiring dan bas sudah ada di kolintang. Bila tidak pada kolintang maka untuk pengiring digunakan Bas dan Accord angklung.
Dalam pementasan satu lagu, dari 29 bh melody yang terpakai hanya 10 – 15 buah nada (tergantung jenis lagu dan aransemen). Jika satu nada dipegang satu pemain, maka satu melody dipegang oleh 10 – 12 pemain. Jika menggunakan rak angklung, yg diperlukan satu sampai dua pemain yang cukup trampil sebagai pemain melody seperti bermain melody di kolintang. Lain halnya jika angklung dibagi satu persatu, si pemain tidak harus pintar dalam musik dan jika si pemain tidak tahu lagunya pun pasti nantinya lagu itu akan jadi sendiri, asal dalam menggetarkannya sesuai dengan ketukan yang tepat.
Untuk pemula alangkah baik jika memakai 2 melody (satu nada dimainkan oleh dua pemain), jadi jika ada satu pemain yang lengah dalam memainkan satu nada maka dapat dibantu pemain yang lainnya. Getaran yang dihasilkan juga lebih halus. Jika ada nada-nada yang jarang digunakan dalam satu lagu, maka tidak perlu menambah pemain (hanya sekali main dan seterusnya pemain tersebut akan berhenti selama lagu tersebut dimainkan) tetapi dapat didobel (satu anak yang cukup terampil bisa dipegangkan 2 angklung) asalkan kedua nada tersebut tidak harus dibunyikan bersamaan ataupun berurutan.
Dengan demikian 2 Set Melody hanya memerlukan 20 pemain. Bila pemainnya lebih dari 20 orang sebaiknya dilengkapi dengan Bas.
  • Satu Set “Standard” (83 bh angklung / 25 – 30 pemain)
2 Set Melody 2 tabung @ 29 buah ( F – A ),12 buah Bas I  ( F –  E ), 13 Accord “Standard” C  D  Dis  E  F  G  A  Ais  B  Dm  Em  Gm  Am. Kami namakan Standard karena dengan ke 13 Accord ini dapat dihasilkan segala macam accord dengan cara kombinasi, sebab bila semua keperluan accord disediakan jumlahnya akan sangat besar. Padahal beberapa hanya terpakai pada lagu tertentu saja (lihat keterangan Accord).
  • Satu Set “Kecil PRO” (54 bh angklung / 15 – 20 pemain)
Bila pemain terbatas maka 2 Set Melody 2 tabung dapat digantikan 1 Set Melody 3 tabung, karena 1 buah angklung 3 tabung suaranya hampir sama dengan 2 buah angklung 2 tabung hingga suara melody tetap seimbang dengan suara bas dan accord.
  • Satu Set “Besar” (142 bh angklung / 40 – 50 pemain)
3 Set Melody 2 tabung (87 buah), 2 Set Bas I (24 buah), 1 Set Bas II ( C, Cis, D, Dis, E = 5 buah), 2 Set Accord Standard (26 bh). Suara tetap “seimbang” dimana tiap nada melody 3 buah, Bas I = 2 bh dan Bas II = 1 bh. Bandingkan dengan senar piano, nada tinggi 3 senar nada rendah 2 senar dan bas 1 senar. Bila pemain bertambah, maka tambahan angklung cukup melody saja

Angklung Indonesia telah mendapat pengakuan resmi dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB
(UNESCO) sebagai bagian dari warisan budaya tak benda atau intangible cultural heritage. Penyerahan resmi sertifikat dilaksanakan di Jakarta, Rabu (19/1/2011), dalam pertemuan Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO dengan mitra kerjanya.
Sertifikat diserahkan mantan Duta Besar RI untuk UNESCO Tresna Dermawan Kunaefi kepada Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh. Turut hadir menyaksikan, antara lain, CEO Saung Angklung Udjo, Taufik Hidayat Udjo.
Tresna mengatakan, pemerintah dan masyarakat Indonesia harus melestarikan angklung. "Yang utamanya, angklung itu sarat nilai untuk membangun karakter. Harus ada kerja sama memainkan angklung untuk menghasilkan harmoni yang indah," ujar Tresna.
Taufik mengatakan, angklung digemari di luar negeri. Negara-negara seperti Korea, Jepang, dan Malaysia telah mengenalkan angklung kepada anak-anak usia sekolah.

Menaruh Harap Lewat Angklung
1
Setelah melewati seleksi yang ketat setahun terakhir, angklung akhirnya ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia tak benda oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) di Nairobi, Kenya, pada 16 November 2010. Angklung menemani keris, batik, dan wayang menjadi hasil karya manusia milik semua bangsa di dunia.
Pengakuan ini disambut sukacita masyarakat Jawa Barat. Dari empat warisan seni dan budaya dunia tak benda itu, angklung terasa paling nyunda. Meskipun wayang dan batik juga berkembang baik di Jabar, Bumi Parahyangan ini adalah rumah bagi angklung. Keberadaan bapak angklung Indonesia, Daeng Soetigna, atau maestro angklung Udjo Ngalagena dengan Saung Angklung Udjo-nya menguatkan pendapat itu.
Berbagai acara bertema angklung pun digelar untuk merayakan keberhasilan itu. Contohnya, pergelaran rutin angklung di sekolah dan acara resmi pemerintah, Festival Bambu Nusantara, serta orkestra 1.000 angklung dalam World Ethnic Music Festival oleh siswa SMA dan SMP di Kota Bandung.
Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf sampai mengimbau kota dan kabupaten di Jabar ikut menanam bambu. Langkah ini untuk melestarikan bambu dan memopulerkan beragam karya dan kerajinan bambu, termasuk angklung.
Direktur Operasional Saung Angklung Udjo, Satria Yanuar Akbar, mengatakan, penghargaan ini sebaiknya tidak membuat masyarakat larut dalam euforia. Justru tanggung jawab memerhatikan angklung semakin bertambah. Bahkan sewaktu-waktu pengakuan itu bisa dicabut bila angklung ternyata ditelantarkan. Indikasinya, banyaknya seni tradisi angklung yang terancam punah atau maraknya perajin angklung yang gulung tikar.
Hal serupa dikatakan budayawan Herry Dim. Menurut Herry, pengakuan internasional bisa menjadi bumerang bila masyarakat dan pemerintah tak serius menjaganya. Dengan status sebagai warisan dunia, semua negara berhak mengembangkan angklung. Konsekuensinya, Indonesia bisa kehilangan pamor sebagai tempat asal angklung. Saat ini Thailand, Jepang, dan Malaysia sangat gencar mengembangkan inovasi angklung. Banyak sekolah di negara itu memasukkan angklung sebagai mata pelajaran resmi.
”Hal yang sama berlaku bagi wayang dan batik Jabar. Bila tidak ada perhatian selanjutnya, pengakuan sebagai warisan dunia tidak bermakna apa-apa,” katanya.
Beberapa alternatif bisa dicontoh, salah satunya angklung robot karya dosen Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung, Eko Mursito Budi. Ia membuat perangkat elektronik yang bisa memainkan musik angklung. Simak pula karya Yayan Udjo dalam inovasi angklung toel (dibunyikan dengan disentuh tanpa harus digetarkan). Keduanya diharapkan bisa menjadi inspirasi penjaga eksistensi angklung.
Harapan wajib terus diapungkan. Selain menyinergikan peran berbagai pihak, pelestarian ini untuk mencegah bertambah panjangnya daftar suram seni tradisional Jabar yang berada di ujung tanduk. Sebanyak 40 jenis kesenian terancam punah karena jarang dipentaskan dan minimnya dana pemerintah untuk revitalisasi.
Kepala Balai Pengelolaan Taman Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar Ikke Dewi Sartika menyebutkan, kesenian itu, antara lain, topeng menor, ronggeng ketuk, dan ngaguyah hujan. Upaya revitalisasi terhambat karena tidak ada dana dari APBD Jabar 2010. Sejauh ini Jabar baru merevitalisasi lima kesenian dengan biaya terbatas, Rp 56 juta per kesenian, yakni gamelan ajeng (Karawang), angklung badud (Tasikmalaya), parebut seeng (Bogor), lisung (Ciamis), dan sandiwara (Ciamis).

Jadi, pilih punah atau abadi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar