Keluarga

Keluarga

Kamis, 16 Februari 2012

Jalan sang Dai ditengah umat


Tidak akan cahaya ini tampak di tengah siang seperti nyanyian lembut saat gemuruh ombak laut. Hangatnya unggun sangat terasa saat badai salju mulai menerpa. Lilin dakwah yang mulai dinyalakan Rasul tidak akan terfahami kebutuhannya kecuali jika kegelapan di sekitarnya terasa mencekamnya.
Jarak antara Rasulullah dan Nabi Isa itu tidak sedikit. Selama enam abad, manusia bukan hanya lupa bahwa Islam yang dibawa Isa itu ada, bahkan lupa bahwa pencipta semesta ini ada mengawasi. Sampai pada tingkat yang kata Rasulullah “Sesungguhnya Allah melihat penduduk bumi, yang Arab dan yang non-Arab, semuanya hanya memberi-Nya murka, kecuali segelintir ahli kitab”. Mereka ada, hanya segelintir. Seperti Zaid bin ‘Amr bin Nufail ayah Saîd bin Zaid, Waraqah bin Naufal atau Qas bin Sa’âdah. Mungkin satu orang dalam satu kota, atau dalam satu kerajaan.
Di Roma, imperimum terdigjaya saat itu Kristen terpecah. Roma timur yang ibukotanya Konstatinopel memegang Ortodoks dengan Heraklius sebagai kaisarnya, sedang Roma ibukota Roma barat yakin dengan Katolik. Paus menjadi manusia suci yang bebas melakukan apapun, meminta apapun, tanpa larangan, tanpa batasan, bahkan seluruh Raja Eropa perlu mencium tangannya. Moral jatuh, zina menjadi rutinitas yang akan terus menjadi mode untuk generasi setelah mereka hingga saat ini. Hiburan pemuas dengan memasang para budak bertarung dengan binatang buas. Manusia terbagi menjadi bangsawan, jelata dan budak. Mereka punya banyak orang bijak. Salah satu yang terbijak dalam sejarah mereka Plato, yang mengarang buku ‘Kota Ideal’. Katanya budak tidak layak mendapat hak tinggal di kerajaan. Itu kata yang bijaknya.
Persia, saingan terberat Roma, inses menjadi adat. Bapak menikahi putri kandung, atau kaka menikahi adik perempuan. Slogan “semua warga punya hak yang sama” indah diucap tapi topeng untuk komunisme zaman kuno. Maksudnya uang, properti, istri dan anak-anak boleh dinikmati sama-sama oleh siapapun. Tentu yang terkuat yang menikmati. Kisra dianggap suci, anak tuhan. Para pendeta, pemimpin, dan menteri diizinkan mendekat maksimal 5 meter, sedang orang biasa harus menjaga jarak 10 meter. Garis pemerintahan menjadi hak dinasti Sassaniah, walau masih kecil boleh memerintah asal anak raja. Kasta berlapis-lapis. Sembahan mereka api yang dibawa Zoroaster.
Di India, semua yang mungkin di sembah menjadi tuhan. Apa saja. Orang, sungai Gangga, gunung, logam, pedang, atau pena dan kertas. Dan Tuhan yang terpavorit adalah sapi. Manusia terbagi menjadi Brahma, seperti raja dan pendeta. Ksatria, yaitu para petarung. Waisya, para petani dan pedagang. Dan Sudra, para budak. Zina bukan masalah sosial, tapi ibadah. Semakin banyak, semakin taat agama. Jika suami mati, istri harus membakar diri. Jika tidak, ia harus tinggal di dalam rumah suaminya agar masyarakat bebas menghina dan menganiayanya sampai mati.
Sedang Arab, di setiap suku ada berhalanya, hingga di Kabah saja jumlahnya sampai 360. Masyarakat tersungkur dalam kubangan riba, judi, dan khamr. Cara nikah mereka bermacam-macam. Ada yang berkumpul sekitar sepuluh lelaki dengan satu perempuan. Jika hamil, ia bebas memilih salah satu dari mereka menjadi bapaknya dan suaminya. Kejantanan bagi mereka bukanlah darah dalam perang, tapi mengubur hidup-hidup anak perempuan sendiri yang sedang tumbuh lucu. Secara politik mereka tidak pernah bersatu. Berperang selama 40 tahun hanya karena pacuan kuda.
Inilah kegelapan yang menyelimuti punggung kemanusiaan. Ia menyelimuti seluruh pojok bumi. Betapa hangatnya hingga berabad-abad manusia tertidur dalam dekapannya walau kehangatan itu hanyalah prolog menuju panasnya konsekuensi ukhrawi.
Orang-orang bijak datang dan pergi. Mencoba merubah dengan kesendiriannya, dengan dakwah tunggalnya. Mereka menghasilkan pengikut yang baik, beberapa gelintir lalu hilang tak berpenerus. Dan kemanusiaan kembali tersesat dan seperti biasa terjerembab ke sumur  kehancuran. Karena jalan terlalu gelap. Dan kerikil tajam kehidupan berserakan di jalan orang-orang bijak, menghalangi kaki yang mencoba melintasinya.
Hingga datang Muhammad muda, yang tidak pernah bermimpi menjadi pemimpin apalagi nabi. Bahkan ia tidak pernah belajar cara menjadi nabi, karena membaca saja ia tidak bisa. Ia hanya merasa ada yang salah di dunia ini. Tapi ia tidak tahu. Ia tidak pernah berguru maka ia tidak punya solusi. Yang ia yakin hanya satu, bahwa semesta ini punya pencipta, dan pencipta punya misi untuk manusia. Maka ia lepaskan dirinya di antara jejaring rencana Allah.
Di hatinya yang hidup menyala cahaya. Seperti lilin kecil di tengah sahara gelap. Lilin itu akan membesar suatu saat. Mulai dari gua Hira untuk menerangi jalan manusia hingga akhir zaman. “…Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menjelaskan. Dengan Kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan…”. [al-Mâidah:15-16]. Dari lilin itu akan bersinar peradaban baru. Namun jalan kesana panjang. Walau begitu dari sini kita mulai ikuti jalan sang dai membangun umat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar